Arsip | Januari, 2014

Hikmah Pengulangan Kisah Al-Qur’an

29 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Al-Qur’an banyak mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang-ulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dan sebagainya. Di antara hikmahnya ialah:

1. Menjelaskan ke-balaghah-an al-Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang ini dikemukakan di setiap tempat dalam uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat yang lain.

2. Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an. Sebab mengemukakan suatu makna dalam beragai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk tak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari sisi Allah.

3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebathilan. Dan sekalipun kisah ini sering diulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surah.

4. Perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.

&

Tarjih dan Analisi Pendapat tentang Pengertian Tujuh Huruf

29 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Pendapat terkuat dari semua pendapat yang telah disebutkan tentang pengertian tujuh huruf adalah pendapat pertama [a], yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan makna yang sama. Misalnya aqbil, ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafal-lafal yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb dan lainnya. Ibn ‘Abdil Barr menisbahkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini adalah apa yang terdapat dalam hadits Abu Bakrah berikut:

“Jibril mengatakan: ‘Wahai Muhammad, bacalah al-Qur’an dengan satu huruf.’ Lalu Mikail mengatakan: ‘Tambahkanlah.’ Jibril berkata lagi: ‘Dengan dua huruf.’ Jibril terus menambahkannya sampai enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata: ‘Semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat azab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat azab. Seperti kata-kata: halumma, ta’ala, aqbil, idHab, asra’ dan ‘ajal.’” (HR Ahmad dan Tabrani, dengan isnad jayyid. Dan ini adalah redaksi Ahmad)

Berkata Ibn ‘Abdil Barr: “Maksud hadits ini hanyalah sebagai contoh bagi huruf-huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Ketujuh huruf ini mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun di antaranya yang mempunyai makna yang saling berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain secara kontradiktif dan berlawanan, seperti rahmat yang merupakan lawan dari azab.” (lihat al-itqaan jilid 1 hal 47)
Pendapat pertama ini didukung pula oleh banyak hadits, antara lain: Seorang laki-laki membaca al-Qur’an di dekat Umar bin Khaththab. Umar marah padanya. Orang itu berkata: “Sungguh aku telah membacanya di hadapan Rasulullah, tetapi beliau tidak marah padaku.” Kata perawi: maka keduanya berselisih di hadapan Nabi. Orang itu berkata: “Wahai Rasulallah, bukankah engkau membacakan kepadaku ayat ini begini dan begini?” Nabi menjawab: “Ya.” Perawi menjelaskan: dengan jawaban ini timbullah ketidakpuasan dalam hati Umar, dan Nabi mengetahui hal tersebut di wajahnya. Lalu beliau menepuk-nepuk dada Umar seraya bersabda: “Jauhilah setan.” Ucapan ini diulanginya sampai tiga kali. Kemudian sabdanya pula: “Wahai Umar, al-Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan ayat azab atau ayat azab dijadikan ayat rahmat.” (Hadits Ahmad dengan isnad yang para perawinya dapat dipercaya, dan dikeluarkan pula oleh Tabari)

Dari Busr bin Sa’id: Abu Juhaim al-Anshari mendapat berita bahwa dua orang lelaki berselisih tentang suatu ayat al-Qur’an. Yang satu mengatakan, ayat itu diterima dari Rasulullah, dan yang lain pun mengatakan demikian. Lalu keduanya menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Maka sabda Rasulullah: “Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganlah kamu saling berdebat tentang al-Qur’an karena perdebatan mengenainya merupakan suatu kekafiran.” Sesungguhnya Allah telah menyuruh aku agar membaca al-Qur’an atas tujuh huruf.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, dan Tabari, dinukil pula oleh Ibn Katsir dalam al-Fadaa’il dan oleh al-Haisami dalam Majma’uz Zawaa’id, dan ia mengatakan: Perawinya adalah para perawi hadits shahih)

Dari A’masy, ia berkata: Anas membaca ayat ini: inna naasyiyatal laili Hiya asyaddu wath-aw wa ashwabu qiilan (al-Muzzammil: 6). Maka orang-orang pun mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Hamzah, kalimat itu adalah ‘aqwamu’. Ia menjawab: “Aqwamu, ashwabu, aHyaa-u itu sama saja.” (Hadits Tabari, Abu Ya’la dan Bazzar, dan perawinya adalah perawi hadits shahih)

Dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: “Saya mendapat berita bahwa Jibril dan Mika’il datang kepada Nabi saw. Jibril berkata: ‘Bacalah al-Qur’an dengan dua huruf.’ Lalu Mika’il berkata kepadanya: ‘Tambahkanlah.’ Kata perawi: permintaan ini terus diulang hingga al-Qur’an boleh dibaca dengan tujuh huruf. Muhammad berkata: ‘Ketujuh huruf itu tidak berselisih mengenai yang halal dengan yang haram, dan tidak pula tentang perintah dengan larangan. Tetapi ia hanya seperti kata-katamu: Ta’aala, halumma dan aqbil.’ Selanjutnya ia menjelaskan, menurut qira’at kami ayat berikut ini dibaca: “in kaanat illaa shaihatuw waahidatun” (Yaasiin: 53) tetapi dalam qira’at Ibn Mas’ud dibaca: “in kaanat illaa zaqyataw waahidatun.” (HR Tabari dan Muhammad bin Sirin, seorang tabi’in. Maka hadits ini adalah mursal.)

Pendapat kedua [B] –yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam dari bahasa-bahasa Arab dengan mana al-Qur’an diturunkan; dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan al-Qur’an telah mencakupnya –dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, di samping itu Umar bin Khaththab dan Hisyam bin Hakim kedua-duanya adalah orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qira’at [bacaan] kedua orang itu berbeda, dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam [namun ternyata Umar mengingkarinya]. Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengna tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafadz-lafadz mengenai makna yang sama. Dan itulah pendapat yang kita kukuhkan.

Setelah mengemukakan dalil-dalil untuk membatalkan pendapat kedua ini, Ibn Jarir at-Tabari mengatakan: “Tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek bahasa dalam satu huruf dan satu kata karena perbedaan lafadz, tetapi sama maknanya. Misalnya: Halumma, aqbil, ta’aali, ilayya, qashdii, nahwii, qurbii, dan lain sebagainya yang lafadz-lafadznya berbeda karena perbedaan ucapan tetapi maknanya sama, meskipun lisan berlainan dalam menjelaskannya. Hal ini seperti yang kita riwayatkan tadi, dari Rasulullah dan dari shahabat bahwa yang demikian itu seperti kata-kata: Halumma, ta’aali, dan aqbil, atau seperti kata-kata: “maa yandhuruuna illaa zaqyatan” dan “illaa shaihatan”.

Tabari menjawab pertanyaan yang mungkin akan muncul, “Dimanakah kita jumpai di dalam kitab Allah satu huruf yang dibaca dengan tujuh bahasa yang berbeda-beda lafadznya, tetapi sama maknanya?” dengan mengatakan: “Kami tidak mendakwakan hal itu masih ada sekarang ini.” Ia juga menjawab pertanyaan yang diandaikan lainnya, “Mengapa pula huruf-huruf yang enam itu tidak ada?” ia menerangkan: “Umat Islam disuruh untuk menghafalkan al-Qur’an, dan diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hafalannya sebagaimana diperintahkan. Namun pada masa Utsman keadaan menuntut agar bacaan itu ditetapkan dengan satu huruf saja karena dikhawatirkan akan timbul fitnah [bencana]. Kemudian hal ini diterima secara bulat umat Islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan.” (lihat Tafsir at-Tabari, jilid 1 hal 57 dan sesudahnya)

Pendapat ketiga [C] –yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal [makna yaitu : amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal –dijawab, bahwa dhahir hadits-hadits tersebut menunjukkan tujuh huruf ini adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagaimana keleluasan bagi umat; padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram di dalam satu ayat yang lain, dan keleluasan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal, penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.

Dalam hadits-hadits terdahulu ditegaskan bahwa para shahabat yang berbeda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi saw. lalu setiap orang diminta menyampaikan bacaannya masing-masing, lalu Nabi saw. membenarkan semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu berbeda satu sama lainnya, sehingga keputusan Nabi itu, sehingga keputusan Nabi ini menimbulkan keraguan di sebagian mereka. maka kepada mereka yang masih ragu terhadap keputusan itu Rasulullah saw. katakan: “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf.”

Kita maklum, jika perselisihan dan sikap saling meragukan itu menyangkut penghalalan, pengharaman, janji, ancaman dan lain sebagainya yang ditunjuk oleh bacaan mereka, maka mustahil Rasulullah saw. akan membenarkan semuanya dan memerintahkan setiap orang untuk tetap pada bacaannya masing-masing, sesuai dengan qira’at yang mereka bacakan itu. Sebab jika hal demikian itu dapat dibenarkan, berarti Allah Yang Maha Terpuji telah memerintahkan dan mamfardlukan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan kefardluannya; melarang dan mencegah untuk melakukan sesuatu itu, dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan larangan dan cegahan; serta membolehkan secara mutlak untuk melakukannya, dalam arti memberikan keleluasaan bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya untuk melakukan dan meninggalkannya di dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan pilihan.

Pendapat demikian, jika memang ada, berarti menetapkan apa yang telah ditiadakan Allah Yang Maha Terpuji dari al-Qur’an dan hukum Kitab-Nya. Firman Allah yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau sekiranya itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisaa’: 82)

Peniadaan tersebut (kontradiksi dalam al-Qur’an) oleh Allah Yang Maha Terpuji dari Kitab-Nya yang muhkam merupakan bukti yang paling jelas bahwa Dia tidak menurunkan Kitab-Nya melalui lisan Muhammad saw. kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua makhluk-Nya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka. (Takhrij at-Tabari, jilid 1 hal 48-49)

Pendapat ke empat (d) –yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf- (pendapat ini adalah pendapat paling kuat sesudah pendapat yang kita pilih. Pendapat ini dipilih oleh ar-Razi yang didukung pula oleh Syaikh Muhammad Bakhit al-Muti’i dan Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Azim az-Zarqani, dari kalangan muta’akhirin).
Dijawab bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan diterima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafadz yang mempunyai makna sama. Di samping itu sebagian dari perubahan atau perbedaan yang mereka kemukakan pun hanya terdapat dalam qira’at-qira’at ahad. Padahal tidak diperselisihkan lagi, bahwa segala sesuatu yang berupa al-Qur’an itu haruslah mutawathir.

Begitu juga sebagian besar dari perbedaan-perbedaan itu hanya mengacu kepada bentuk kata atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan lafadz, seperti perbedaan dalam segi i’rab, tasrif, tafkhim, tarqiq, fathah, imalah, idHar, idgham dan isymam. Perbedaan semacam ini tidak termasuk perbedaan yang bermacam-macam dalam lafadz dan makna; sebab cara-cara yang berbeda dalam pengucapan suatu lafadz tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai lafadz yang satu.

Para pendukung pendapat keempat memandang bahwa Mushaf-mushaf Utsmani mencakup ketujuh huruf tersebut seluruhnya, dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mengandung huruf-huruf yang dimungkinkan oleh bentuk tulisannya. Misalnya ayat: walladziina Hum li amaanaatiHim wa ‘aHdiHim raa-‘uun (al-Mukminun: 8), ayat ini dapat dibaca dengan bentuk jamak dan mufrad. Dalam rasam Utsmani ditulis lam+hamzah+mim+nun+ta’+Ha’+mim secara bersambung tetapi dengan menggunakan alif kecil (harakat berdiri).
Begitu juga dengan ayat: faqaaluu rabbanaa baa’id baina asfaarinaa (Saba’: 19), dalam rasam Utsmani ditulis “ba’+’ain+dal” secara bersambung dengan alif kecil di atasnya pula, dan seterusnya..
Apa yang mereka kemukakan sebagai salah satu macam ikhtilaf ini tidak dapat dibenarkan.

Perbedaan karena penambahan dan pengurangan, misalnya dalam firman-Nya: wa a-‘addalaHum jannaatin tajrii tahtaHal anHaaru (at-Taubah: 100) yang dibaca pula: “min tahtiHal anHaaru” dengan tambahan “min”. Dan firman-Nya: “wa maa khalaqadz dzakara wal untsaa (al-Lail: 3) yang juga dibaca: “wadz dzakara wal untsaa” dengan pengurangan kata “maa khalaqa”.

Perbedaan karena terdapat taqdim dan ta’khir, misalnya dalam firman-Nya: wa jaa-at sakratul mauti bil haqqi (Qaaf: 19), yang dibaca juga dengan “wa jaa-at sakratul haqqi bil mauti”. Sedang perbedaan dengan sebab ibdal [penggantian] seperti dalam firman-Nya: “wa takuunul jibaalu kal ‘iHnil manfuusy” yang dibaca: “wa takuunul jibaalu kash-shuufil manfuusy”.

Andaikata huruf-huruf itu masih terdapat dalam mushaf-mushaf Utsmani, tentulah Mushaf tersebut tidak dapat meredam pertikaian dalam hal perbedaan bacaan. Sebab meredam pertikaian hanya dapat tercapai dengan cara mempersatukan umat dalam satu huruf dari ketujuh huruf yang dengan al-Qur’an diturunkan. Kalaulah tidak demikian, tentulah perbedaan bacaan akan tetap ada dan juga tidak akan ada perbedaan antara motif pengumpulan mushaf yang dilakukan Utsman dengan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar. Akan tetapi berbagai sumber menunjukkan bahwa pengumpulan al-Qur’an yang dilakukkan Utsman adalah penyalinan kembali al-Qur’an menurut satu huruf di antara ketujuh huruf itu untuk menyeragamkan kaum muslimin pada satu mushaf.

Utsman berpendapat bahwa membaca al-Qur’an dengan ketujuh huruf itu hanyalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan di masa-masa awal, dan kebutuhan akan hal itu pun sudah berakhir. Maka kuatlah motifnya untukmenghilangkan segala unsur yang menjadi faktor perbedaan bacaan, dengan mengumpulkan dan menyeragamkan umat pada satu huruf saja. dan kebijaksaan Utsman ini kemudian disepakati oleh para shahabat. maka dengan adanya kesepakatan ini terjadilah ijma’. Pada masa Abu Bakar dan Umar, para shahabat tidak memerlukan pembukuan al-Qur’an seperti yang dibukukan Utsman, sebab pada masa keduanya tidak terjadi perselisihan tentang al-Qur’an seperti yang terjadi pada masa Utsman. Dengan demikian, maka Utsman telah melakukan suatu kebijakan besar; menghilangkan perselisihan, mempersatukan dan menenteramkan umat.

Pendapat kelima (e) yang menyatakan bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadits menunjukkan hakekat bilangan tersebut secara tegas; seperti “Jibril” membacakan [al-Qur’an] kepadaku dengan satu huruf. Kemudian aku berulangkali mendesaknya agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Dan sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membacakan al-Qur’an dengan satu huruf. Lalu berulang-ulang aku meminta kepada-Nya untuk memberikan kemudahan kepada umatku. Maka Dia mengutusku agar membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf.” (Hadits Hasan).
Jelaslah bahwa hadits-hadits ini menunjukkan hakekat bilangan tertentu yang terbatas pada tujuh.

Pendapat keenam (f) yang menyatakan bahwa tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab: bahwa al-Qur’an bukanlah Qiraat. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedang qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafadz-lafadz wahyu tersebut, seperti meringankan [takhfif], memberatkan [tasqiil], membaca panjang dan sebagainya. Berkata Abu Syamah: “Suatu kaum mengira bahwa qiraat tujuh yang ada sekarang inilah yang dimaksudkan dengan tujuh huruf dalam hadits. Asumsi ini sangat bertentangan dengan kesepakatan ahli ilmu, dan yang beranggapan seperti itu hanyalah sebagian orang-orang bodoh saja.” (lihat al-itqaan jilid 1 hal 80)

Lebih lanjut at-Tabari mengatakan: “Adapun perbedaan bacaan seperti merafa’kan suatu huruf, men-jar-kan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan dan memindahkannya ke tempat lain dalam bentuk yang sama; semua itu tidak termasuk dalam pengertian ucapan Nabi, “Aku diperintahkan untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf”; sebab sebagaimana diketahui, tidak ada satu huruf pun dari huruf-huruf al-Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini, menyebabkan seseorang dipandang telah kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat salah seorang ulama –padahal Nabi mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran- itu termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat.” (Tafsir at-Tabari, jilid 1 hal 65)

Nampaknya apa yang menyebabkan mereka terperosok ke dalam kesalahan ini adalah adanya kesamaan “bilangan tujuh” [dalam hadits ini dengan qiraat yang populer], sehingga permasalahannya menjadi kabur bagi mereka. Ibn ‘Umar berkata: “Orang yang mengintepretasikan qiraat tujuh terhadap kata “Sab’ah” dalam hadits ini telah melakukan apa yang tidak sepantasnya dilakukan dan membuat kesulitan bagi orang awam dengan mengesankan kepada setiap orang yang berwawasan sempit bahwa qiraat-qiraat itulah yang dimaksudkan oleh hadits. Alangkah baiknya andaikata qiraat yang masyhur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan itu tidak perlu terjadi.”

Dengan pembicaraan ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat pertama (a) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qiraat tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa Arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan dhahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang shahih.

Dari Ubai bin Ka’b, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku agar membaca al-Qur’an dengan satu huruf, lalu aku berkata: ‘Wahai Tuhanku, berilah keringanan kepada umatku.’ Kemudian Dia memerintahkan kepadaku dengan firman-Nya: ‘Bacalah dengan dua huruf’. Kemudian aku berkata lagi: ‘Wahai Tuhanku, ringankanlah umatku.’ Maka Dia pun memerintahkan kepadaku agar membacanya dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga. Semuanya obat penawar dan memadai.’” (Hadits Muslim dan at-Tabari)

At-Tabari berkata: “Yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa, seperti yang telah kita katakan, dan tujuh pintu surga adalah makna-makna yang terkandung di dalamnya, yaitu, amr, nahyu, targhib, tarhib, kisah dan masal, yang jika seseorang mengamalkannya sampai dengan batas-batasnya yang telah ditentukan, maka ia berhak masuk surga. Alhamdulillah, tidak ada satu pendapatpun dari orang-orang terdahulu yang bertentangan dengan apa yang kita katakan ini, sedikitpun juga. Sedangkan makna ‘semuanya syaafin [obat penawar] dan kaafin [memadai]’ adalah sebagaimana difirmankan Allah Yang Maha Terpuji tentang sifat-sifat al-Qur’an:

“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit-penyakit [yang berada] dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)

Jadi al-Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasehat-nasehatnya mereka sembuhkan segalapenyakit yang menimpa hati mereka yaitu bisikan setan dan getaran-getarannya. Karena itulah maka al-Qur’an telah memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasehat yang lain, dengan penjelasan ayat-ayat-Nya itu.” (lihat Tafsir at-Tabari, jilid 1 hal 47, 67)
&

Hadits Arbain ke 22: Jalan Menuju Surga

28 Jan

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 22 (dua puluh dua)Abu Abdillah Jabir bin Abdillah al-Anshari ra. berkata, ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Jika aku shalat lima waktu, berpuasa Ramadlan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Lalu aku tidak menambah selain amalan itu. Apakah aku masuk surga?” Beliau menjawab: “Ya.” (HR Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Mengharamkan yang haram artinnya menjauhinya, dan menghalalkan yang halal artinya melakukannya dengan meyakini kehalalannya.”

URGENSI HADITS

Al Jurdani berkata, “Hadits ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan merupakan siklus ajaran Islam. Karena pada dasarnya, amal perbuatan meliputi perbuatan hati dan perbuatan anggota badan. Perbuatan-perbuatan ini, hanya ada dua kemungkinan, dibolehkan [halal] atau dilarang [haram]. Jika seseorang telah melaksanakan yang halal dan menghindari yang haram, maka ia telah melaksanakan semua tugas dalam agama dan akan masuk surga.

KANDUNGAN HADITS

1. Rasulullah saw. adalah Rahmat bagi alam semesta.
Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta. Menyelamatkan mereka dari kesesatan dan mengajak untuk menapaki jalan hidayah yang bisa mengantarkan ke surga. Jalan menuju surga adalah jalan yang jelas dan mudah. Allah swt. telah menetapkan berbagai rambu-rambu di dalamnya. Barangsiapa yang komitmen dengan rambu-rambu tersebut maka ia akan sampai tujuan. Namun barangsiapa yang melanggar aturan-aturan yang ada maka ia akan sesat. Rambu-rambu tersebut tentunya sesuai dengan kemampuan manusia, karena Allah swt. menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan. Ini semua dapat dipahami secara jelas dalam hadits di atas.

2. Merindukan surga.
Dalam hadits tersebut kita bisa melihat betapa kesungguhan Nu’man untuk mendapatkan surga, dengan berusaha mengetahui berbagai amalan yang bisa mengantarkannya ke surga.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh para shahabat nabi. Tentu dengan cara yang berbeda-beda. Namun kesemuanya menunjukkan betapa mereka merindukan surga. Berikut ini beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut:

a. Bukhari dan muslim meriwayatkan dari Abu Ayub al-Anshary bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. “Tunjukanlah kepadaku suatu perbuatan yang bisa memasukkanku ke surga.” Rasulullah saw. menjawab: “Beribadahlah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung silaturahim.”
b. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka.
c. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah disebutkan, “Puasa Ramadhan” dan tidak disebut “silaturahim.”
d. Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muntafiq ra. ia berkata: saya datang kepada Rasulullah saw. pada saat itu beliau di padang Arafah, lalu saya bertanya: “Dua hal yang akan saya tanyakan kepadamu, apakah yang bisa menyelamatkan aku dari api neraka dan memasukkan aku ke surga?” Rasulullah saw. menjawab: “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun memiliki makna yang luas. Karenanya dengarlah baik-baik. Sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya sedikitpun, tegakkanlah shalat wajib, tunaikanlah zakat, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan bergaullah dengan orang lain yang baik.”

3. Komitmen terhadap berbagai kewajiban dan larangan adalah kunci keselamatan.
Dalam hadits di atas Nu’man bertanay perihal dirinya. Jika ia senantiasa mengerjakan shalat wajib yang tertera dalam firman-Nya, “Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya.” (an-Nisaa’: 103), melakukan puasa bulan Ramadlan yang diwajibkan dengan firman-Nya: “..[beberapa hari yang ditentukan itu ialah] bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan [permulaan] al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk ini dan pembeda [antara yang hak dan yang batil]. Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir [di negeri tempat tinggalnya] di bulan itu.” (al-Baqarah: 185),

Dan meninggalkan semua yang dilarang dan melakukan yang diwajibkan, tanpa ditambah dengan perbuatan sunah sedikitpun, apakah bisa membawanya ke surga tanpa harus melalui siksa di neraka? Rasulullah lalu menjawab dengan jawaban yang dapat menenangkan dan menyenangkan hatinya. “Ya.” Artinya apa yang telah disebutkan sudah cukup baginya untuk mendapatkan surga. Bagaimana tidak? Sementara Rasulullah sendiri telah menyampaikan firman Allah dalam hadits Qudsinya, “Hamba-hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan melakukan apa yang Aku wajibkan kepada mereka.” (HR Bukhari)

Ditambah lagi dengan firman-Nya dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan orang-orang yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (at-Taubah: 112)

An-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang hamba melaksanakan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat dan manjauhi tujuh dosa besar, melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang bisa dimasuki yang mana dikehendaki.” Kemudian beliau membacakan ayat yang artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu [dosa-dosamu yang kecil] dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia [surga].” (an-Nisaa’: 31)

Adapun tujuh dosa besar itu adalah: zina, ninum minuman keras, sihir, menuduh orang baik melakukan zina, membunuh dengan sengaja, riba dan lari dari medan perang.
Ada yang menyebutkan dosa-dosa besar selain ketujuh dosa tersebut.

4. Agama ini adalah mudah
Sikap Rasulullah saw. di atas, dan dalam berbagai sikap lainnya, menunjukkan kemudahan Islam dan bahwa Allah swt. tidak membebani hamba-Nya dengan beban yang berat. Firman Allah yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
“Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Semua kewajiban dan syariat dalam Islam bersifat mudah dan sesuai dengan kemampuan manusia, karena kewajiban tersebut datang dari Dzat Yang Mahabijaksana dan Mahatahu. Manusia yang berakal, tidak ada pilihan lain kecuali mendengar dan menaatinya agar bahagia di dunia dan akhirat.

5. Kejujuran seorang muslim.
Nu’man ra. adalah contoh seorang muslim yang jujur dan berterus terang. Ia tidak berpura-pura takwa dan shalih. Tetapi ia menyatakan dengan kejujurannya bahwa ia adalah manusia yang menginginkan keselamatan dan keberuntungan. Dia menyatakan siap melaksanakan apa saja yang akan dinasehatkan kepadanya.

Kejujuran Nu’man ini semakin jelas terlihat, dalam ucapannya [dalam riwayat lain], “Demi Allah, saya tidak akan menambah dari perbuatan-perbuatan itu sedikitpun,” setelah mendengarkan jawaban Rasulullah saw. bahwa apa yang telah ia sebutkan cukup untuk mendapatkan surga. Kewajiban yang telah ditetapkan Allah ini akan mudah dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman, tetapi terasa berat dan susah bagi orang-orang yang sudah ditutup hatinya.

Allah berfirman yang artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, [yaitu] orang-orang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (al-Baqarah: 45-46)

Sikap jujur dan terus terang ini juga sering ditampakkan oleh mereka yang hatinya didominasi oleh keimanan, jiwanya dipenuhi keyakinan dan tidak memiliki sedikitpun keraguan atau pun nifaq. Mereka yang tidak pernah memandang remeh syariat Allah swt. Sikap-sikap seperti Nu’man dan jawaban senada yang diberikan Rasulullah banyak terdapat dalam hadits Nabi saw.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki Badui (Dhamam bin Tsa’labah) datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya tentang kewajiban shalat. Beliau menjawab: “Lima.” Ia bertanya, “Apakah ada shalat wajib lain?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika kamu ingin melakukan yang sunnah, dan tidak akan mengurangi yang wajib sedikitpun.” Ia berkata, “Demi Allah, saya tidak akan melakukan yang sunah, dan tidak akan mengurangi yang wajib sedikitpun.” Beliau bersabda, “Ia akan beruntung jika jujur.” Riwayat Muslim menyebutkan, “Jika ia melaksanakan yang diperintahkan niscaya ia akan masuk surga.” Dalam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah orang ini.”

6. Zakat dan Haji merupakan Kewajiban.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Ia memiliki urgensi tersendiri dalam Islam. Allah swt. berfirman, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. dan berdoalah untuk mereka. sesungguhnya doa kamu itu [menjadi] ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Mu’adz ketika hendak mengutusnya ke Yaman, “Katakanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat terhadap mereka, diambil dari orang yang kaya di antara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.”

Demikian halnya haji, Allah swt. berfirman yang artinya: “Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Mahakaya [tidak memerlukan sesuatu] dari semesta alam.” (Ali ‘Imraan: 97)

Rasulullah bersabda: “Wahai manusia, telah diwajibkan bagi kalian ibadah haji, maka berhajilah.” (HR Muslim)

Dengan demikian, komitmen terhadap dua rukun ini adalah satu kewajiban dan merupakan syarat terpenting agar selamat dari neraka dan masuk surga. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits, bahwa Ibnul Muntafiq bertanya kepada Rasulullah saw. perihal perbuatan yang bisa membawa ke surga, maka Rasulullah saw. menjawab: “Bertakwalah kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya sedikitpun, menegakkan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji dan puasa Ramadlan.” (HR Ahmad)

Nu’man tidak menyebutkan secara spesifik, sebagaimana ia menyebutkan shalat dan puasa. Dimungkinkan, karena saat Nu’man bertanya, zakat dan haji belum diwajibkan. Atau karena Nu’man memang tidak diwajibkan melaksanakn dua ibadah itu sebab tidak mampu menunaikannya. Bisa juga, karena haji dan zakat sudah masuk dalam ucapan, “Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.” Karena ucapan ini mencakup semua kewajiban yang ada. Bagaimanapun haji dan zakat adalah sesuatu yang halal dan wajib dilakukan dan haram ditinggalkan.

7. Urgensi shalat dan Puasa.

a. Shalat.
Penanya di atas menanyakan perihal shalat wajib. Ini menunjukkan secara jelas bahwa shalat adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa para shahabat, sesuatu yang mereka pandang penting. Ini tidak lain karena shalat adalah tiang agama dan tanda bagi seorang muslim. Ia menunaikan lima kali dalam sehari semalam dengan menjaga semua rukun, syarat, sunah dan adab-adabnya.

Rasulullah saw. bersabda: “Puncak dari perkara ini adalah Islam, barangsiapa yang masuk Islam maka ia akan selamat, tiang dari Islam adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fii sabilillah.” (HR Thabrani)

“Barangsiapa yang shalat seperti kami, menghadap kiblat kami, makan sembelihan kami, maka dialah orang muslim yang menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari)

“Tidak ada agama bagi orang yang tidak shalat, karena kedudukan shalat bagi agama sebagaimana kedudukan kepala bagi badan.” (HR Thabrani)

Hukum meninggalkan shalat.
Banyak hadits-hadits yang memberi ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat, dan menyatakan bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran atau mengarah pada kekufuran:

“Antara seorang muslim dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR Muslim)

“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh telah kafir.” (HR Ahmad)

Abdullah bin Syaqiiq al-Aqly menyatakan bahwa para shahabat ra. tidak melihat satupun perbuatan yang apabila ditinggalkan menjadi kafir, kecuali shalat.” (HR Tirmidzi dan Hakim)

Melalui berbagai nash tersebut, kita dapat mengetahui hukum bagi orang yang meninggalkan shalat. Namun, demikian juga sangat tergantung faktor yang menyebabkan ia meninggalkan shalat.

Jika meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, juga tidak mengakui bahwa shalat adalah salah satu ibadah yang fundamental dalam Islam, maka ia adalah kafir dan murtad [sebagaimana ijma para ulama]. Meskipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat, mengklaim bahwa dirinya muslim serta melakukan amalan-amalan yang lain.

Orang seperti ini perlu diminta untuk segera bertaubat dan meralat keyakinan dan ucapannya. Jika tidak mau bertobat, maka dijatuhi hukuman mati [hukuman bagi orang yang murtad]. Tidak dimandikan, tidak dishalatkan, tidak dikuburkan di pemakaman Islam dan juga tidak saling mewarisi di antara dia dan keluarganya.

Jika meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini bahwa shalat adalah wajib, maka menurut kesepakatan para imam fiqih orang seperti ini adalah fasik. Para ulama kemudian berbeda pendapat dalam memperlakukan orang tersebut.

Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas, dipernjarakan dan diberi hukuman cambuk hingga ia mau melakukan shalat. Jika tetap tidak mau shalat, ia tetap ditahan agar tidak menjadi contoh buruk bagi masyarakat, atau menjadi pemicu untuk meremehkan syiar-syiar Islam.

Adapun Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa orang seperti ini diminta untuk bertaubat. Jika tetap tidak mau taubat dan tidak mau shalat maka diibunuh. Namun demikian, menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik ia dibunuh sebagai hukuman, jadi tetap dimandikan, dikafankan, dishalatkan, dan dikubur di pemakaman Islam. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa orang seperti ini dibunuh karena kufur, maka harus diperlakukan seperti orang yang murtad. Pendapat Imam Ahmad ini senada dengan pendapat beberapa shahabat, di antaranya : Umar ra., Ibnu Mas’ud ra., Mu’adz bin Jabal ra., dan banyak juga tabi’in yang berpendapat seperti ini.

b. Puasa.
Puasa menempati urutan kedua setelah shalat. Meskipun demikian bukan berarti memiliki tingkat kewajiban yang lebih kecil dari shalat. Para ulama sepakat bahwa puasa merupakan salah satu rukun Islam dan sesuatu yang fundamental dalam Islam.
Banyak hadits [dalam pembahasan sebelumnya] yang menunjukkan hal tersebut, karena itulah Nu’man secara spesifik menyebutkannya setelah shalat. Jika shalat selalu berulang lima kali sehari dalam kehidupan seorang Muslim, maka puasa hanya cukup dilaksanakan setahun sekali selama sebulan. Saat itu seseorang muslim menahan diri dari rasa lapar dan dahaga, melatih diri terhadap akhlak-akhlak yang terpuji, diantaranya: kesabaran, kemauan yang kuat, membersihkan diri dari belenggu syahwat dan materi, turut merasakan penderitaan orang-orang yang tidak mampu sehingga akan tumbuh sikap untuk selalu membantu, dengan demikian akan tercipta persamaan dan keadilan.

Karena itu puasa layak disebut oleh sebuah hadits qudsi: “Semua perbuatan anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah milik-Ku dan Aku akan memberi pahala orang yang berpuasa sekehendak-Ku. Sedang puasa sendiri adalah benteng.” (HR Muslim)

Puasa memang benteng dari segala maksiat dan benteng dari api neraka serta sarana untuk menghapus berbagai dosa dan jalan menuju surga. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang puasa Ramadlan karena iman dan mengharapkan pahala, maka dosanya akan diampuni.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan bahwa Abu Umamah ra. datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: “Perintahkan kepadaku satu amalan yang bisa membawaku ke surga.” Beliau menjawab: “Puasalah, sesungguhnya puasa itu tidak ada tandingannya.” Kemudian ia datang lagi. Beliaupun berkata, “Berpuasalah.” (HR Ahmad)

Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan puasa karena tidak mengakui kewajibannya adalah kafir dan murtad dari Islam. Mereka ini diperlakukan seperti orang yang murtad. Mengingat banyaknya nash yang jelas-jelas menyatakan bahwa puasa adalah wajib.

Adapun orang yang meninggalkan puasa karena meremehkan, dan tanpa ada halangan syar’i yang membolehkannya ia meninggalkan puasa, maka orang seperti ini adalah fasik, bisa juga diragukan keislamannya. Sikap meremehkan seperti ini dapat membawa kepada kekufuran.

Abbas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tali dan pondasi Islam ada tiga. Islam tegak di atas ketiganya. Barangsiapa yang meninggalkan salah satunya, maka ia adalah kafir dan halal darahnya. Ketiganya adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, shalat wajib dan puasa Ramadlan.” (HR Abu Ya’la dan ad-Dailamy).
Adapun orang yang berbuka [sebelum waktunya] maka ia ditahan, tidak boleh makan dan minum di siang hari hingga usai bulan Ramadlan.

8. Tingkatan-tingkatan Ibadah

Iman adalah dasar kesempurnaan. Karena pada dasarnya untuk bisa masuk surga sangat tergantung dengan keimanan dan tauhid, bukan pada yang lain. Barangsiapa yang beriman kepada Allah, para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, Malaikat-malaikat-Nya, hari akhir serta qadla dan qadar, lalu mati dengan tidak menyekutukan Allah sedikitpun, maka ia dipastikan masuk surga.

Adapun meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan hanyalah menghalangi seseorang masuk surga tanpa disiksa dulu. Artinya orang yang tidak melakukan kewajiban dan melanggar larangan akan terlebih dahulu disiksa sebelum masuk surga, sebagai balasan dari perbuatan yang telah dilakukan.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang mengucapkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, melainkan ia akan masuk surga.” (HR Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Isa adalah hamba dan utusan-Nya [yang diciptakan dengan] kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam [dengan tiupan] ruh dari-Nya, dan surga adalah benar adanya, neraka benar adanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, apapun amalan yang dilakukan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Karena itu, melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan adalah suatu yang bisa menghindarkan seseorang dari api neraka. karena dasar dalam beribadah kepada Allah adalah menjaga kewajiban dan meinggalkan larangan. Barangsiapa yang melakukan hal ini, maka ia benar-benar beruntung. Dari Amru bin Murrah al-Hahmy, ia berkata bahwa seseorang datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah Rasullullah, lalu saya shalat lima waktu, menunaikan zakat dari hartaku, puasa di buln Ramadlan.”
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan bersama dengan para nabi, shidiqin dan orang-orang yang mati syahid, pada hari kiamat, selama ia tidak durhaka terhadap kedua orang tuanya.” (HR Ahmad)

Dari sini kita pahami bahwa pelaksanaan amalan-amalan sunnah adalah tambahan untuk semakin dekat dengan Allah. Seorang muslim boleh meninggalkan amalan-amalan tersebut, demikian juga masalah-masalah yang bersifat mubah dan makruh. Ini jika dilakukan secara individu. Namun jika amalan-amalan sunnah tersebut ditinggalkan secara massal, misalnya jika penduduk salah satu perkampungan ramai-ramai meninggalkan amalan sunnah, maka menurut para ulama, mereka harus diperangi, sehingga mereka kembali melaksanakannya. Ini dilakukan karena seakan-akan telah menolak amalan sunnah tersebut.

Demikian halnya, jika seseorang [bukan massal] meninggalkan amalan sunnah menganggap remeh amalan tersebut atau mengingkari keutamaan dan pensyariatannya, maka dia dianggap kufur dan murtad. Orang seperti ini diharuskan bertobat dan dipaksa melaksanakan amalan sunnah.

Adapun orang yang meninggalkannya karena malas, namun tetap meyakini masyu’iyahnya maka akan menyebabkan harga dirinya jatuh. Bahkan masuk dalam kategori fasik, karena hal itu menunjukkan sikap meremehkan agama dan berbagai syiarnya. Di samping itu jika meninggalkan amalan-amalan sunnah seseorang muslim akan kehilangan pahala yang besar. Bagaimanapun, disyariatkannya amalan-amalan sunnah adalah untuk melengkapi berbagai amalan wajib yang kadang dilaksanakan secara tidak sempurna.

Seorang muslim yang menginginkan selamat dan benar-benar ingin mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah swt, tidak akan meninggalkan amalan sunnah dan juga tidak akan mendekati perbuatan yang makruh. Seakan ia tidak membedakan dalam perintah antara wajib, sunnah, dan mubah atau dalam larangan antara haram dan makruh.

Demikianlah kondisi para shahabat nabi saw. mereka tidak membeda-bedakan apa yang telah diperintahkan ataupun apa yang dilarang. Mereka senantiasa komitmen dengan firman Allah swt, yang artinya: “Apapun yang diperintahkan Rasulullah kepadamu maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Ini semua dilakukan karena mereka ingin untuk mendapatkan pahala, rahmat dan keridlaan Allah.

Demikian halnya para tabi’in, orang-orang yang mengikuti jejak mereka, para shalafush shalih dan para tokoh ulama. Sedangkan para fuqaha, ketika menjelaskan macam-macam hukum syar’i [wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh], hanyalah untuk membedakan amalan perbuatan, apakah sah atau tidak, harus diulang atau tidak, dan kaitah hukum yang lain.

Adapun sikap Rasulullah saw. terhadap shahabat yang menyatakan tidak menambah sedikitpun dari perbuatan wajib, yang terkesan mengamini, hanyalah semata-mata untuk mempermudah, dan untuk memberikan pelajaran kepada para da’i dan pendidik, senantiasa menanamkan harapan dalam diri mad’u dan anak didiknya, memiliki sikap lapang dada dan lembut. Untuk mengukuhkan bahwa Islam datang dengan segenap kemudahannya.

Di samping itu Rasulullah saw. juga tahu persis bahwa seorang mukmin yang benar-benar bertakwa ketika beribadah kepada Allah dan melakukan amalan yang diwajibkan baginya, dengan dada yang terbuka dan perasaan tenang, akan terdorong untuk selalu beribadah dan senantiasa menginginkan keridlaan Allah. Bahkan keridlaan ini ingin ia dapatkan lebih banyak dan lebih banyak lagi. Ini tentu dilakukan dengan cara melakukan amalan-amalan sunnah dan meninggalkan berbagai hal yang makruh. Terlebih setelah mendengar hadits qudsi berikut:

“Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya maka Aku menjadi Pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi mata yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memegang dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku tentulah Aku akan memberi, jika ia meminta perlindungan-Ku tentulah Aku beri perlindungan, dan jika ia berdoa kepada-Ku tentu Aku kabulkan.” (HR Bukhari)

Demikianlah seorang muslim terus meningkat menuju kesempurnaan. Hingga ia terlihat bagaikan prajurit yang tangguh di medan perang pada siang hari dan akan menjadi rahib yang senantiasa tenggelam dalam kekhusyukan ibadah pada malam hari. Allah berfirman: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. Mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizky yang Kami berikan kepada mereka.” (as-Sajdah: 16)

9. Halal dan haram hanya dari Allah

Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa pada prinsipnya keimanan adalah keyakinan terhadap halalnya sesuatu yang telah dihalalkan Allah, dan haramnya sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah. Jika ada seseorang yang beranggapan bahwa ia bisa mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh syara’ atau sebaliknya, maka ia telah mencampuri hak Allah dan dianggap keluar dari Islam, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang tersebut.

Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Maaidah: 87)

Ayat ini turun karena ada sebagian shahabat yang ingin mengharamkan untuk dirinya sebagian barang yang halal, karena zuhud. Maka Rasulullah berkata kepada para shahabat yang bersangkutan, “Akan tetapi saya shalat dan tidur, puasa dan juga berbuka serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka tidak termasuk golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)

10. Bersumpah untuk Melakukan Kebaikan.

Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan suatu kebaikan, yang kebaikan tersebut semata-mata ketaatan, maka hendaklah ia melakukannya. Allah berfirman: “Dan jagalah sumpahmu.” (al-Maaidah: 89)

Namun barangsiapa yang bersumpah untuk meninggalkan suatu kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang maka ia wajib mencabut sumpahnya, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi saw. yang artinya: “Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan maksiat, maka tidak ada sumpah baginya.” (HR Abu Dawud)

Sedangkan orang yang bersumpah untuk meninggalkan kebaikan, yang bukan wajib, maka sebaiknya ia membatalkan sumpahnya karena pembatalan tersebut adalah lebih baik baginya. Rasulullahs saw. bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah terhadap sesuatu, lalu ia mendapati ada yang lebih baik dari sumpah itu, hendaklah ia memilih yang lebih baik dan membatalkan sumpahnya.” (HR Muslim)

11. Seorang Muslim hendaknya selalu bertanya kepada orang yang lebih mengerti, tentang berbagai syariat yang belum diketahui. Apa yang dilarang, apa yang diwajibkan, agar ia bisa melakukan setiap perbuatan dengan tenang.

12. Para Dai dan pendidik hendaknya memberikan kemudahan terhadap orang-orang yang belajar kepadanya dan selalu mempermudah.

&

Surah-Surah yang Dibaca dalam Shalat Sunnah Fajar

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Dalam melakukan shalat sunnah fajar itu disunnahkan pula membaca surah-surah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi saw. Di antara hadits-hadits yang menerangkannya adalah:

Dari ‘Aisyah ra. katanya: “Rasulullah saw. itu dalam kedua rakaat shalat fajar membaca surah ‘Qul yaa ayyuHal kaafiruun’ dan ‘Qul HuwallaaHu ahad’, serta dibacanya perlahan-lahan [tidak dikeraskan suaranya].” (HR Ahmad dan Thahawi)

Dan dari ‘Aisyah pula bahwa Nabi saw. bersabda: “Kedua shalat itu ialah sebaik-baik surah.” Beliau membaca surah ‘Qul yaa ayyuHal kaafiruun’ dan ‘Qul HuwallaaHu ahad’ dalam masing-masing rakaat fajar itu.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Dari Jabir diterangkan bahwa ada seseorang yang shalat sunnah sebelum shubuh dan dalam rakaat pertama ia membaca surah ‘Qul yaa ayyuHal kaafiruun sampai selesai.
Maka bersabdalah Nabi saw.: “Inilah hamba yang mengenal Rabb-nya.” dan dalam rakaat yang penghabisan ia membaca ‘Qul HuwallaaHu ahad’ sampai habis. Nabi saw. bersabda pula: “Inilah hamba yang beriman kepada Rabb-nya.” Thalhah berkata: “Oleh karena itulah saya gemar membaca kedua surah itu dalam kedua rakaat ini.” (HR Ibnu Hibban dan Thahawi)

Dari Ibnu ‘Abbas ra. katanya: “Rasulullah saw. dalam kedua rakaat shalat fajar membaca; maksudnya bahwa Nabi saw. pada rakaat pertama setelah al-Fatihah membaca ayat berikut: Quuluu aamannaa billaaHi wa maa unzila ilainaa wa maa unzila ilaa ibraahiima wa ismaa’iila wa ishaaqa wa ya’quuba wal asbaathi, wa maa uutiya muusaa wa ‘iisaa wa maa uutiyan nabiyyuuna mir rabbiHim laa nufarriqu baina ahadim minHum wa nahnu laHuu muslimuun. [Kami percaya kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada kami, juga yang diturunkan kepada Nabi-Nabi: Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub dan anak-anaknya serta cucu-cucunya; Musa dan Isa dan yang diberikan kepada Nabi-Nabi dari Rabb mereka. tiadalah kami membedakan seseorang pun di antara mereka dan kepada Allah kami menyerahkan diri.” (al-Baqarah: 136)]
Sedang dalam rakaat kedua ialah:
Qul yaa aHlal kitaabi ta’aalau ilaa kalimatin sawaa-im bainanaa wa bainakum allaa na’buda illallaaHa, wa laa nusyrika biHii syai-an, wa laa yattakhidza ba’dlunaa ba’dlan arbaabam min duunillaaHi, fa in tawallau faquulusyHaduu bi annaa muslimuun. [Katakanlah: Hai ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), marilah kembali kepada kalimat yang serupa di antara kami dengan kalian, yaitu supaya kita tidak menyembah kecuali kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun dan janganlah sebagian kita mempertuhan yang lain kecuali Allah. Dan apabila mereka mengabaikan seruan itu, maka katakanlah: Saksikanlah oleh kamu sekalian bahwa kami ini benar-benar Muslimin.”] (Ali ‘Imraan: 64)

Juga dalam riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas diterangkan bahwa Rasulullah saw. dalam rakaat pertama membaca: Quuluu aamaannaa billaaHi….[al-Baqarah: 136] dan dalam rakaat kedua membaca: falammaa ahassa ‘iisaa minHumul kufra qaala man anshaarii ilallaaHi, qaalal hawaariyyuuna nahnu anshaarullaaHi aamannaa billaaHi wasyHad bi annaa muslimuun. [Maka ketika Nabi Isa telah merasakan kekafiran mereka ia pun berkata: ‘Siapakah yang akan membelaku dalam menegakkan agama Allah?’ Kaum Hawari menjawab: ‘Kamilah yang akan menjadi pembela Allah. Kami telah beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa Kami adalah Muslimin yang sebenarnya.” (surah Ali ‘Imraan: 52)

Boleh pula dalam kedua rakaat sunnah Fajar itu seseorang menyingkat dengan hanya membaca surah al-Fatihah saja dengan alasan hadits riwayat ‘Aisyah yang telah disebutkan, yang menerangkan bahwa berdirinya Nabi saw. itu hanyalah sekedar cukup untuk membaca al-Fatihah.

&

Shalat Sunnah Fajar

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Keutamaan shalat sunnah Fajar.
Banyak hadits yang menjelaskan betapa besar keutamaannya menjaga dan tetap melakukan shalat sunnah fajar itu.

Dari ‘Aisyah yang diterima dari Nabi Muhammad saw. dalam menerangkan keutamaan shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat fajar, sabdanya: “Kedua rakaat itu lebih saya sukai daripada dunia seluruhnya.” (HR Ahmad, Muslim dan Turmudzi)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Jangan engkau tinggalkan kedua rakaat sunnah fajar itu, meskipun kamu dikejar oleh tentara berkuda.” (HR Abu Daud, Baihaqi dan Thahawi)

Pengertian hadits ini adalah hendaknya dua rakaat sunnah fajar itu jangan sekali-sekali ditinggalkan sekalipun waktu dikejar oleh musuh.

Dari ‘Aisyah katanya: Rasulullah saw. dalam mengerjakan shalat-shalat sunnah itu tidak serajin dalam mengerjakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Daud)

Dari ‘Aisyah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Kedua rakaat sunnah fajar itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR Ahmad, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i)

Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah, katanya: Saya tidak pernah melihat Nabi saw. begitu rajin dan cepatnya mengerjakan suatu kebaikan, sebagaimana rajin dan cepatnya melakukan dua rakaat sebelum fajar.”

&

Shalat Sunnah Dhuhur Enam Rakaat

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Dari Abdullah bin Syaqiq, katanya: Saya bertanya kepada ‘Aisyah perihal shalat Rasulullah saw. Beliau berkata bahwa Nabi saw. shalat empat rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat sesudahnya. (HR Ahmad, Muslim dan lain-lain)

Dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa shalat dalam sehari-harinya dua belas rakaat maka dibangunkanlah untuknya sebuah rumah di surga; yaitu empat rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah ‘isya dan dua rakaat sebelum shalat fajar.” (HR Turmudzi, dan ia berkata hadits ini hasan lagi shahih dan oleh Muslim diriwayatkan secara ringkas)

&

Shalat Sunnah Dhuhur Empat Rakaat

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Dari Ibnu Umar katanya: Saya ingat dari perbuatan Nabi saw. ada 10 rakaat sunnah rawatib, yakni dua rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib di rumahnya, dua rakaat sesudah ‘isya di rumahnya pula, dan dua rakaat sebelum shubuh.” (HR Bukhari)

Dari Mughirah bin Sulaiman, katanya: Saya mendengar Ibnu Umar berkata: Rasulullahs saw. itu tidak pernah meninggalkan dua rakaat sebelum dhuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah ‘isya dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR Ahmad dengan sanad yang baik)

&

Shalat Sunnah Dhuhur Delapan Rakaat

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Dari Ummu Habibah, katanya: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa shalat empat rakaat sebelum dhuhur dan empat rakaat pula sesudahnya, maka Allah mengharamkan dagingnya dari api neraka.” (HR Ahmad dan ash-habus Sunan dan dishahihkan oleh Turmudzi)

&

Ringan Bacaan dalam Shalat Sunnah Fajar

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Yang terkenal dari petunjuk Nabi saw. ialah bahwa beliau suka meringankan bacaan dalam kedua rakaat sunnah fajar.

Dari Hafshah ra. katanya: “Rasulullah saw. shalat dua rakaat shalat fajar sebelum shubuh di rumahku dan beliau melakukannya cepat sekali.” Nafi berkata: “Abdullah bin Umar juga melakukannya dengan cepat.” (ini adalah riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Aisyah ra. katanya: “Rasulullah saw. shalat dua rakaat sebelum shubuh dan melakukannya dalam waktu singkat. Karena demikian cepatnya, sampai-sampai saya ragu apakah dalam kedua rakaat itu beliau membaca surah al-Fatihah ataukah tidak.” (HR Ahmad dan lain-lain)

Dan dari ‘Aisyah ra. pula, katanya: “Berdirinya Rasulullah saw. dalam kedua rakaat sebelum shalat shubuh itu hanyalah sekedar untuk membaca al-Fatihah belaka.” (HR Ahmad, Nasa’i, Baihaqi, Malik dan Thahawi)

&

Mengkadla Shalat Sunnah Fajar

27 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang belum shalat dua rakaat fajar sampai matahari terbit, maka hendaklah mengerjakannya.” (HR Baihaqi)
Imam Nawawi berkata bahwa isnad hadits itu adalah baik.

Dari Qais bin Umar, bahwa ia keluar menuju masjid untuk melakukan shalat Shubuh dan di sana didapatinya Nabi saw. sedang melakukan shalat subuh, sedang ia sendiri belum mengerjakan dua rakaat sunnah fajar. Ia pun lalu shalat shubuh bermakmum kepada Nabi saw. kemudian setelah selesai ia berdiri lagi dan mengerjakan shalat sunnah fajar dua rakaat. Nabi saw. pun berjalan melewatinya, dan bertanya shalat apakah yang dilakukannya tadi. Olehnya dijawab shalat sunnah fajar; beliau saw. diam saja dan tidak memberikan teguran apapun.” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan ash-habus Sunan kecuali Nasa’i, al-Iraqi berkata bahwa isnad hadits ini adalah baik)

Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Umar bin Hushain: “Bahwa Nabi saw. pada suatu ketika sedang dalam bepergian. Sekalian shahabat pada tertidur sampai tak sempat lagi melakukan shalat fajar [shubuh]. Mereka bangun di saat matahari sudah terbit, mereka pun lalu berjalan sedikit sampai matahari agak tinggi. Kemudian beliau saw. menyuruh seorang muadzdzin untuk berdiri melakukan adzan dan seterusnya lalu melakukan dua rakaat sunnah sebelum fajar dan qamat serta melakukan shalat shubuh [fajar].”

Hadits-hadits di atas menyatakan bahwa shalat sunnah fajar itu boleh diqadla sebelum terbit matahari maupun sesudahnya, biar terlambat itu disebabkan udzur atau lainnya, dan biarpun terlambat itu hanya sunnah fajar itu sendiri, atau bersama-sama dengan shalat shubuh.

&